Ia menyampaikan kekhawatiran terhadap situasi ketika wartawan diproses hukum tanpa koordinasi lebih awal dengan Dewan Pers, yang dapat memicu reaksi luas dari komunitas pers nasional hingga internasional.“Kalau polisi menjadikan seorang wartawan sebagai tersangka, serangannya langsung ke Kapolri. Ada semacam esprit de corps dari kalangan wartawan yang kadang membabi buta,” ujarnya.
Totok memberikan contoh beberapa kasus, seperti pembunuhan jurnalis di Kalimantan dan pembakaran keluarga jurnalis di Medan, yang sempat menimbulkan kegaduhan karena belum adanya klarifikasi atau komunikasi yang cukup di awal.“Kalau saja sejak awal disampaikan kepada kami, bisa kami bantu luruskan. Tidak perlu semua bukti dari sosmed sampai berita dikumpulkan untuk dibawa ke pengadilan. Kita bisa duduk bareng dulu untuk menetapkan posisi yang tepat,” katanya.
Ia menilai pentingnya komunikasi langsung antara penyidik dan Dewan Pers dalam menangani kasus yang melibatkan media atau wartawan, agar tidak muncul salah paham di masyarakat dan tidak menyudutkan institusi Polri secara tidak adil.“Saya yakin kalau kita mengikuti jalur yang sudah disepakati dalam MoU, maka penyelesaian persoalan akan lebih cepat dan tidak melebar ke mana-mana,” tegasnya.
Totok juga mengusulkan agar sosialisasi MoU dan PKS dilakukan lebih masif, baik secara daring maupun tatap muka, serta melibatkan para Kasubbid Humas dan Tim Humas di Polda dan Polres seluruh Indonesia.“Saya yakin, MOU yang sudah kita perbarui ini akan berjalan efektif jika dilaksanakan secara sungguh-sungguh, karena Polri punya jaringan luas hingga ke daerah,” pungkasnya.(***)
Komentar