”Harus ada tindakan nyata. Maka saat kemarin ada kasus, GAMKI langsung turun ke lapangan mengawal penyelesaian kasus. Termasuk memastikan para pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal,” jelasnya.
Sahat menegaskan, kekerasan-kekerasan yang merusak toleransi itu tak bisa sebatas dimaafkan. Sebaliknya, proses hukum harus terus dilanjutkan. ”Jika tidak, tindakan toleransi dan persekusi terhadap anak karena berbeda agama akan terus terjadi,” tegasnya.
Sahat pun memaparkan kerja sama GAMKI dengan Direktorat Tindak Pidana Perempuan, Anak, dan Perdagangan Orang (Dittipid PPA-PPO) Mabes Polri dalam penanganan kasus intoleransi, termasuk pada penegakan hukum terhadap anak korban persekusi retreat di Sukabumi.
“Tidak hanya penegakan hukum, kita juga harus membenahi hingga ke hulu, yakni bagaimana menerjemahkan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda sejak dini melalui pendidikan formal, non formal, dan informal. Selain itu memastikan nilai-nilai Pancasila diterapkan di dalam birokrasi dan setiap sendi kehidupan bangsa,” lanjut Sahat.
GAMKI juga meminta adanya pemerataan dalam ketersediaan guru agama Kristen.
Sahat mengemukakan, masih banyak sekali Sekolah Negeri di berbagai provinsi, kota, dan kabupaten yang belum menyediakan guru agama Kristen sehingga anak-anak harus belajar pendidikan agama Kristen di luar sekolah.
“Ini bisa menjadi bom waktu dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Negara harus hadir menyelesaikan persoalan ini,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Agustinus Sirait, mengungkapkan bahwa jumlah kasus intoleransi dari tahun ke tahun terus meningkat. Ironisnya, banyak pelaku yang masih berusia muda.
”Melihat fakta di lapangan yang seperti ini, kita harus mengkritisi sistem pendidikan yang ada. Pendidikan toleransi di lembaga-lembaga pendidikan harus lebih diperhatikan,” jelasnya.
Agus Sirait menekankan, saat ini terjadi darurat pendidikan, darurat kekerasan, darurat toleransi, dan darurat teknologi pada anak.
”Bangsa kita sudah hampir 80 tahun merdeka, tapi untuk kebebasan pendirian rumah ibadah masih sangat memprihatinkan,” urainya.
Ia menekankan, salah satu kunci memberikan ruang aman untuk anak-anak kita dimulai dari menjadikan rumah kita sebagai rumah yang selalu beribadah bagi keluarga kita.
Pegiat toleransi Pendeta Jahenos Saragih menyoroti motif para pelaku yang mendasarkan tindakannya atas dasar agama. Hal ini mengindikasikan adanya pemahaman agama yang salah di tengah masyarakat.
”Negara kita adalah negara hukum. Bukan negara sekuler, bukan pula negara agama. Inilah hal yang harus kita sadari. Saya minta agar para wakil rakyat jangan takut dengan konstituen, tapi takutlah dengan konstitusi,”tandas Jahenos. (ralian)
Komentar