Oleh: Rima Patricia Marintan
Penggiat Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk Pekerja Informal
Setiap pagi, ketika mentari terbangun dari tidurnya, anak bangsa sudah mulai bekerja. Ada yang menyiapkan dagangan di pasar, menyalakan aplikasi ojek daring, membangun rumah, atau menjemur padi di sawah.
Mereka adalah para pekerja informal tulang punggung ekonomi nasional yang selama ini menjaga ketahanan ekonomi keluarga dan bangsa, meskipun tanpa jaminan perlindungan sosial apa pun.
Ironisnya, di tengah risiko kerja yang tinggi, kepesertaan pekerja informal dalam BPJS Ketenagakerjaan masih sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025 mencatat, 59,40 persen tenaga kerja Indonesia atau sekitar 86,5 juta orang bekerja di sektor informal.
Dari jumlah besar itu, yang sudah tercatat sebagai peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan baru sekitar 9,9 juta orang, atau hanya 16 persen dari potensi yang ada (BPJS Ketenagakerjaan, 2024). Artinya, lebih dari 70 juta pekerja masih hidup tanpa perlindungan ketika kecelakaan, sakit, atau kehilangan penghasilan.
Belum Merasa Membutuhkan.
Banyak pekerja informal belum benar-benar merasakan bahwa program BPJS Ketenagakerjaan ini “milik mereka.” Istilah “jaminan sosial” terasa jauh dan rumit. Sosialisasi sering berlangsung di ruang rapat atau kantor pemerintahan, bukan di tempat di mana mereka bekerja: pasar, jalan raya, atau sawah.






Komentar