Dalam kesempatan yang sama, Dekan FISIP Universitas Sam Ratulangi Dr. Ferry Daud Liando mengatakan, demokrasi di Indonesia perlu dikoreki karena tidak semua suara mayoritas benar. Dia menyebut, di tengah-tengah demokrasi Indonesia yang liberal peran gereja sangat minim dalam pemberdayaan jemaat.
“Bahkan gereja sudah mengarah industri ke arah matrealistik. Bagaimana Kristen kokoh kalau terjadi perdebatan yang tidak substansial di dalam gereja,”ujarnya.
Ferry mengatakan, gereja sekarang sudah dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan, dan hal ini menjadi tantangan berdemokrasi. “Hati-hati politik gereja juga sudah dimanfaatkan dalam kepentingan politik. Menjelang Pemilu kadang memanfaatkan pendeta untuk kepentingan politik.
“Karena itu peran gereja dalam demokarsi maka gereja dulu diperkuat demokrasinya, baru kita bisa mempengaruhi di demokrasi di negeri ini,”ujarnya.
Ketua GPI, Pdt. Sylvana M. Apituley menyebut, berdasar Peraturan Presiden (Perpres) No. 63 Tahun 2020, ada 62 daerah tertinggal di Indonesia. “32 daerah tertinggal di Kabupaten Maluku, NTT, Sulawesi, dan Sulawesi Tengah. Sisanya ada di Papua, atau sekitar 48 persen,”ugkap Sylvana.
Dia tidak menafikan bahwa masalah perudungan (bully) masih terjadi di Indonesia terhadap anak-anak. “Bahkan bully terjadi karena perbedaan agama hingga mengakibatkan siswa kelas 2 SD, berusia 8 tahun di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), atas nama Kristofer harus menghadapi pembulian hingga tewas,”sebut Sylvana.
Menurut dia, gizi buruk tertinggi terjadi di Nusantara Tenggara Timur (NTT).”Pelaku kekerasan seksual dengan korbannya anak tertinggi di Sulawesi Utara. Namun, sayangnya pemerintah daerah masih tidak terbuka dalam mengatasi kekerasan di daerahnya. Padahal masalah luka sangat penting untuk diatasi, apalagi menyangkut anak,”ujar Sylvana. (ralian)
Komentar