Krisis Ekologi, PGI: Memperlakukan Alam Semena-mena Sama Dengan Mencibir Allah

Nasional157 Dilihat

BeTimes.id–Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) angkat bicara terkait krisis lingkungan yang terjadi secara global. Karena itu masyarakat, khususnya warga gereja dalam mengatasi masalah krisis ekologis ini melakukan pertobatan ekologis.

“Kita ini sedang diancam kiamat ekologis. Tidak bisa lagi membutuhkan langkah-langakh kecil, TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif -red) yang disebut Teras Narang (mantan Gubernur Kalimantan Tengah-red) itu sebuah keharusan.Yang paling krusial paradigma antroporsentris kita, kita cukup lama memperlakukan alam tidak baik,” ujar Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, dalam Diskusi dan Launching Video Edukasi Peran Gereja Menghadapi Krisis Iklim, di Grha Oikoumene, Jakarta, Rabu (21/2).

Menurut Gomar, alam itu seolah-oleh demi keutuhan manusia padahal itu sangat tidak Alkitabiah. Alam itu punya marwahnya sendiri, terlepas ada atau tidaknya manusia.

Bahkan, lanjut Gomar, sebelum manusia tercipta Allah mengatakan sungguh amat baik. Kejadian 1:31. Kitab Ayub, kitab Mazmur Allah punya hubungan sendiri dengan Allah tanpa manusia.

“Jadi tidak benar alam itu diciptakan untuk manusia. Ini saya kira corak berpikir yang kita kembangkan secara teologis bahwa alam itu punya hubungan tersendiri dengan Allah tanpa manusia pun,”imbuh Gomar.

“Saya kira manusia hidup dari tanah, dan kalau mati dia kembali ke tanah. Karena itu memperlakukan alam semen-mana sama dengan mencibir Allah. Jadi pertobatan seperti itu kita perlukan demi alam yang lebih baik. Saya tidak mau menghakimi orang mengatakan merokok itu berdosa, tapi kalau anda mengatakan merokok itu dosa maka menggunakan plastik itu lebih dahsyat dosanya. Karena kalau merokok hanya merusak tubuhnya, tapi penggunaan plastik semena-mena maka kita merusak kehidupan manusia, kita merusak alam,” tegas Gomar.

Menurutnya, warga gereja harus berani mengatakan menggunakan plastik semena-mena itu jauh lebih berdosa lagi. Tapi pertobatan itu terlalu abstrak, padahal kita butuh yang membumi. Kalau 0,5 kilogram sampah per keluarga, kalau warga gereja saja katakan lah 1 juta maka akan menyumbang sampah plastik sebesar 500.000 kilogram, atau 500 ton,” tandasnya.

Gomar mengatakan, Pemerintah DKI Jakarta terbaik dalam penyelesaian mengelola sampah Jakarta tapi pemerintah sendiri tidak mampu menyelesaikan masalah sampah.

Buktinya, DKI mengekspor sampahnya ke Jawa Barat. Karena belum mampu mengelola keseluruhannya, pemerintah melempar ke Bantar Gebang,Bekasi.

“Sepengetahuan saya Orang Jawa Barat yang menghirup sampah kita. Itu pemerintah tidak mampu mengatasi sampah sendiri, harus keterlibatan semua,”ucap Gomar.

Dia mengatakan, pernah Paus terdampar di laut lalu dibelah perutnya, ada mikro dan nano plastik.

“Berapa banyak ikan yang kita makan di dalam perutnya ada plastik. Karena itu kita membutuhkan pertobatan ekologis. Masalah air yang sekarang terjadi di Indonesia adalah masalah air bersih,” ujarnya.

Gomar mengemukakan, dirinya semenjak menjabat Sekretaris Umum PGI sejak tahun 2011 sudah berkampanye Zero plastik di lingkungan PGI.

“Untuk 35 orang saya butuh 1,5 tahun berkampanye zero plastoik. Sekarang di Sidang Raya gak ada kantong plastik. Di gereja gak ada kemasan plastik, kalau diundang saya tidak minumn kalau gereja menggunakan kemasan kantong plastik. Saya mabil buah saja,” tandas Gomar.

Hal senada dikatakan, Ketua Umum Yayasan Kesehatan (Yakes) PGI Cikini Dr. Agustin Teras Narang mengatakan, kondisi lingkungan Indonesia sedang dalam keadaan tidak baik, karena mengalami tingkat kerusakan yang tinggi.

Sebab itu, lanjut Teras, diperlukan penanganan luar bisa, dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk gereja, melalui gerakan yang terstruktur, sistematis dan masif.

Salah satu tantangan yang dihadapi terkait persoalan lingkungan saat ini, jelas Teras Narang, adalah populasi penduduk yang diprediksi meningkat pada 2030, dan mencapai 400 juta pada 2045. Sehingga pentingnya pemikiran strategis mengingat sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan.

Teras mengatakian, gereja sebagai wadah memiliki pengaruh besar dalam rangka meningkatkan kesadaran jemaat terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. “Suara gereja begitu kuat dalam rangka penyadartahuan bahwa masalah lingkungan atau ekologi menjadi tantangan kita bersama, bukan hanya saat ini, tapi juga di masa yang akan datang, dan jangan sampai berhenti melainkan harus berkelanjutan,” ujar Teras.

Dia pun berharap agar jemaat tidak hanya sekadar menjadi agen, tetapi juga sebagai pelaku pelestarian lingkungan. “Minimal menyadari bahwa masalah lingkungan adalah tantangan bagi jemaat kita, dan ini menjadi penting karena kerusakan lingkungan sangat berpengaruh terhadap perobahan iklm yang kini sudah kita rasakan,” tandasnya.

Juliarta Bramansa Ottay, dari Manka, sebuah organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup mengutarakan, hal ini penting agar satu sama lain terkoneksi.

“Karena satu sama lain belum terkoneksi, belum ada gerakan bersama, dan isu lingkungan masih dilihat sebagai tanggung jawab para ativis. Padahal persoalan lingkungan harus dilihat sebagai norma umum, karena lingkungan adalah masalah kita semua. Maka kita harus bangkit dari dalam diri sendiri. Harapan kita isu lingkungan menjadi isu bersama, dan menjadi bagian dari kehidupan keseharian,” jelas Juliarta.

Kesadaran akan lingkungan, lanjut Juliarta, diharapkan tidak hanya terjadi di satu komunitas, tapi semua, salah satunya dalam lembaga keagamaan.

“Sebab itu penting bagaimana video ini bisa disebarkan secara masif. Sesuatu yang harus dilakukan bersama, tidak hanya dari kalangan aktivis lingkungan tapi juga pemuka agama, entitas agama atau pemimpin moral, yang akan lebih didengar, sehingga pesan moralnya akan lebih mengena,” tandasnya. (Davin)

Komentar