Menghayati dan Memaknai Kenaikan Yesus Kristus Masa Kini

Pendidikan100 Dilihat

Oleh: Pdt Banner Siburian MTh

Kenaikan Yesus adalah satu kesatuan dengan peristiwa historis sejarah keselamatan. Dia telah bangkit dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa (Ef 1:20-21). Dia menjadi Allah atas segala allah, Tuhan atas segala tuan dan Raja di atas segala raja (God of gods, King of kings; Why 1:5, 8; Mzm 97: 1-2). Dia memerintah dengan keadilan dan hukum sebagai tumpuan takhtaNya. Dialah Kompas sejarah dunia ini hingga pada kesudahannya.

Yesus naik ke sorga, 40 hari setelah hari kebangkitanNya. Ini tercatat dalam sejarah, sebagai bukti, kenaikan itu juga adalah peristiwa historis; bukan fiksi. Dia hadir di mana-mana tanpa dibatasi oleh ruang maupun waktu, “behind os space and time” (”Omni Presence”).

Sebelum Yesus naik ke sorga, para murid diperlengkapi untuk menjadi Saksi (Lukas 24:44-53). Di Betania, Yesus mengangkat tanganNya untuk memberkati mereka. Kenaikan Yesus menjadi momentum untuk berkarya dan bersaksi, sebagai tugas missioner orang percaya, yang dipanggil dan diutus untuk menjadi saksiNya.

Sebelum peristiwa kenaikan, mata kita dicelikkan untuk melihat: Apa yang Allah lakukan untuk manusia. Namun, sesudah kenaikan, paradigmanya adalah apa yang manusia kerjakan untuk Allah. Kita turun gunung mempraktekkan apa yang telah kita dengar. Singkatnya, masa setelah Kenaikan Yesus adalah masa untuk missi.

Bagaimanakah kita memaknai teologi kenaikan Yesus Kristus masa kini dan menghayatinya dalam hidup keseharian kita ?

Pertama: Makna Yesus naik ke surga ialah bahwa Dia kembali kepada ke-IlahianNya atau ke-Allahannya yang sejati. Yesus kembali naik kepada keagungan dan kemuliaanNya, kepada hakekat keilahianNya, kepada takhtaNya yang abadi dan kepada kekekalanNya (Kisah Rasul 1:9-11). Kenaikan Yesus menjadi pemulihan atas status kemanusiaanNya kepada ke-AllahanNya (Pil 2:9-11). Dia ditinggikan dan dimuliakan bahkan dikaruniai nama di atas segala nama.

Dalam paradigma baru, Yesus naik bukan kepada ruang tertentu secara geografis lalu bermukim di situ. Dia benar-benar Allah yang melampaui segalanya, baik segala kuasa maupun segala hukum alam yang ada. Yesus terangkat ke sorga, pertanda Dia tidak terikat sama sekali misalnya dengan hukum gravitasi bumi (bnd. Why 1:7-8). Dia maha mulia dan maha kuasa, yang tidak terbatas dan terikat oleh alam dan ruang.

Surga yang dimaksudkan di sini sejatinya kita maknai secara baru. Kalau sebelumnya surga itu acap dipahami sebagai suatu wilayah geografis tertentu di atas langit yang amat jauh di angkasa raya sana, hal itu kita maknai kini secara baru. Yesus bukan mengasingkan diri dan meninggalkan dunia ini, namun hadir dan campurtangan di seluruh dunia dengan segala pergumulan yang ada di dalamnya. Surga yang dimaksud dalam paradigma baru tentu bukan lagi sebuah tempat tertentu secara geografis di ketinggian sana atau di ruang hampa udara sekalipun.

Yesus naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada (Yoh 6:62). Menurut Yohanes, memang tadinya Dia turun dari sorga, maka tentu saja Dia akan kembali ke sana, kembali kepada transendentalitas Allah, kepada singgasanaNya yang ilahi yang tak terverifikasi dan tak teridentifikasi oleh pikiran manusia, namun kita percayai sebagai suasana kualitatif hidup mesra dengan Tuhan di dalam keabadianNya.
Kenaikan Yesus memanggil kita untuk menjadikan dan mengisi hidup ini lebih kualitatif, hidup yang lebih manusiawi, bermutu dan bermartabat. Perilaku kita pun semakin terpuji. Kinerja hidup keseharian kita pun semakin bermutu dan produktif. Tentu saja, iman kita pun semakin bermutu, kokoh dan berbuah.

Kedua: Yesus naik ke surga untuk menyediakan tempat bagi orang-orang percaya (Yoh 14:2-3). Kita adalah warga kerajaan Allah yang tengah ”check in” di dunia ini guna mencerminkan wajah Kristus dan kerajaan sorgawi. Segenap aktivitas hidup kita merupakan tindakan “menghadirkan” perangai sorgawi di dunia ini. Kita adalah cahaya Kristus (Kis 1:8), surat Kristus yang dapat dibaca (2 Kor 3:3) serta gema atau pantulan wajah Kristus (1 Tes 1:8) di dunia ini dan dalam segenap lika-liku kehidupan kita.

Kenaikan Yesus juga mengingatkan kita bahwa tempat atau kampung halaman (“bona pasogit”) kita yang sejati (“sambulo ni tondi”) bukanlah dunia ini, melainkan surga, tempat terindah yang Dia telah sediakan bagi kita orang percaya.

Kenaikan Yesus Kristus juga menjadi jaminan bahwa tiap orang percaya pun akan turut diangkat dan ditinggikan ke dalam hidup yang kekal dan ke dalam persekutuan dengan Kristus di sebelah kanan Allah Bapa.

Martin Luther berkata: Simul iustus et peccator: Kita adalah orang berdosa sekaligus dibenarkan. Namun, meski sudah dibenarkan, kita tidak serta merta langsung diangkat ke sorga. Meski tujuan akhir hidup kita bukanlah dunia ini, namun Allah tidak serta merta langsung mengangkat kita naik ke sorga. Kita masih berlanjut diutus ke dalam dunia, untuk membuat dunia ini lebih damai dan indah, lebih baik dan manusiawi, lebih adil dan sejahtera. Pokoknya lebih kualitatiflah.

Ketiga: Minggu kenaikan Yesus menjadi momentum indah bagi kita untuk melenturkan hati dengan firman Tuhan yang berkuasa melembutkannya. Demikianlah hidup keugaharian kita menjadi hidup yang lebih berdampak, bermutu dan berbuah produktif, berbuah seratus kali lipat, enam puluh kali lipat, tiga puluh kali lipat dan seterusnya (Mat 13:23).

Kenaikan Yesus sejatinya membuat setiap kita lebih kreatif, lebih bersemangat dan lebih gesit dalam pekerjaan sehari-hari. Kenaikan itu menjadi motor dan inspirasi bagi kita untuk hidup lebih kualitatif, lebih berkarya dengan kinerja yang lebih maksimal serta melangkah ”go to the next level”, kepada peningkatan taraf hidup yang lebih manusiawi, lebih bermartabat, lebih beradab dan sejahtera, terutama dengan iman yang semakin dewasa dalam wujud kasih yang semakin membumi (Ef 1:15-23; Luk 2:52).

Keempat: Melalui kenaikan Yesus, kita dipanggil untuk menjadi saksiNya di dunia ini. Panggilan Tuhan (“Vocatio Dei”) menjadi satu kesatuan yang sehakekat dengan tugas suruhanNya (“Missio Dei”). Kita dipanggil untuk diutus. Kita diutus karena telah dipanggil. Tugas bersaksi menjadi hutang pemberitaan yang harus kita bayar lunas (1 Kor 9:16).

Sampai di manakah cakupan tugas bersaksi itu ? Ya, selama kita masih hidup di dunia ini dan segenap aktifitas hidup kita menjadi wujud dari hidup bersaksi kita. Saksikanlah Kristus melalui segenap aktivitas hidupmu dan hidupilah keselamatan Kristus lewat keseharian hidupmu. Hidup bersaksi itu menjadi karakter, gaya hidup, perilaku dan perangai yang membatin dalam hidup kita.

Dalam Kisah Para Rasul 1:8, kita melihat bahwa dalam hidup bersaksi itu, kita tidak diutus dan disuruh pergi dengan tangan kosong bagai menggenggam angin. Allah melalui Roh Kudus membekali kita dengan kuasaNya guna menguatkan setiap orang percaya untuk tugas bersaksi itu. Tahapannya juga jelas dengan lingkaran yang paling dekat dengan kita, yakni menjadi saksiNya di Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ke ujung bumi.

Namun hendaklah setiap orang percaya mengerti, bahwa bila tugas bersaksi sudah berjalan, itu bukanlah karena hikmat dan kekuatan kita, sehingga manusia tidak menjadi tinggi hati. Kita hanyalah alat di tangan Tuhan. Sebab tugas pemberitaan Injil tidak akan pernah terhenti walau tanpa kita. Tentu saja, tugas bersaksi itu dapat semakin maju bila kita semua mengerjakannya dengan sungguh.

Kelima: Bagaimana start dan tahapan kita melangkah untuk pemberitaan kesaksian itu ? Kita pergi mengawalinya dari lingkaran yang paling dekat dengan kita, lalu “move on” serta melangkah ke lingkaran berikutnya secara sentrifugal. Alkitab sangat jelas dan terukur memulai langkah dalam ruang bersaksi itu, yakni:

Satu: Menjadi SaksiNya di Yerusalem sebagai pusat keberangkatan atau titik awal untuk pemberitaan Injil. Yerusalem dalam konteks kini, dianalogikan dengan diri kita sendiri, tempat di mana kita berpijak, tempat di mana bumi dipijak, rumah kita, saudara kita, kampung kita, rumah-tangga atau sanak saudara kita.

Dua: Yudea sebagai lingkaran sentrifugal yang kedua. Yudea, kini dapat kita analogikan sebagai tetangga kita, sahabat, tim kerja, relasi sosial, teman bergumul, teman sekantor, kawan seperjuangan, handai tolan dan yang serumpun dengan itu.

Tiga: Samaria sebagai lingkaran sentrifugal ketiga, yakni bangsa-bangsa di luar Israel dahulu. Termasuk di dalamnya pluralitas (kemajemukan/kepelbagaian), komunitas dengan pelbagai latar belakang yang berbeda, realitas sosial lintas budaya, suku bangsa, ras atau etnis, bahasa, agama atau antar penganut kepercayaan.

Empat: Ujung dunia sebagai lingkaran sentrifugal keempat, dimaknai sebagai “wilayah” atau ruang (“space”) yang belum dapat kita raih saat ini dengan segala keterbatasan kita bermissi di zaman Iptek, komputer dan era digital ini. Ujung dunia juga dapat kita maknai dalam paradigma bersaksi dan bermissi secara baru, misalnya “from one crisis to another crisis”, dan lain-lain.

Selamat memaknai dan menghayati kenaikan Yesus Kristus bagi kita. Marilah kita mohon, selama kita masih berada di dunia ini, Tuhan sendirilah juga yang membangun kerajaanNya di dalam hati kita masing-masing. Dan dalam kuasa penyertaanNya, kitapun senantiasa memiliki keberanian percaya untuk setia mengikut Tuhan dan melaksanakan kehendakNya. Amin !

Pdt Banner Siburian/br Siagian
Medan

Komentar