Presiden Harus Paham Bahasa Rakyat dari Tinjauan Filsafat dan Kontrak Sosial

Featured59 Dilihat
  1. Sangat tinggi nya Gaji take home pay para pejabat negara termasuk gaji DPR, Komisaris & Direksi serta tantiemnya
  2. Mafia Pangan dan Energi
    Kasus mafia beras, BBM, dan batu bara berulang kali mencuat, menandakan lemahnya kedaulatan negara. Situasi ini sesuai dengan tesis Tan Malaka dalam Madilog: bangsa yang tak mandiri ekonominya akan terus terjajah.
  3. Penyebab utama : Korupsi gila gilaan Triyun trilyun

Korupsi di Indonesia bukan sekadar tindak kriminal atau penyimpangan individu, melainkan sebuah penyakit sosial yang merasuki sendi-sendi institusi negara, merongrong legitimasi demokrasi, dan memperlebar jurang ketidakadilan struktural. Dari perspektif teori keadilan Rawls, korupsi menciptakan masyarakat yang gagal melindungi kepentingan kelompok paling rentan. Prinsip difference principle yang seharusnya menjamin bahwa setiap ketimpangan hanya sah sejauh memberi manfaat bagi kelompok paling lemah justru dibalikkan logikanya: korupsi memperkaya segelintir elit dan menjerumuskan jutaan rakyat ke dalam kemiskinan sistemik.

Bila dilihat melalui kacamata Habermas, korupsi membunuh ruang publik deliberatif. Dialog yang seharusnya didasarkan pada rasionalitas komunikatif digantikan oleh transaksi kuasa, lobi gelap, dan kooptasi politik uang.
Demokrasi kehilangan substansinya karena suara rakyat tidak lagi terpantul dalam kebijakan, melainkan ditenggelamkan oleh kepentingan tertentu.

Sementara itu, melalui kerangka Foucault, kita dapat membaca korupsi sebagai teknologi kuasa yang mereproduksi dirinya dalam jaringan birokrasi, hukum, dan ekonomi.
Korupsi bukan sekadar pelanggaran aturan, melainkan sebuah regime of truth yang menormalisasi penyalahgunaan wewenang sehingga generasi baru tumbuh dalam atmosfer permisif terhadap praktik kotor.

Secara empiris, dampak korupsi telah nyata: rasio gini stagnan di kisaran 0,38–0,40, menandakan ketimpangan kronis; tingkat kemiskinan nasional berkisar 9–10%, tetapi kemiskinan multidimensi jauh lebih luas, menyentuh aspek pendidikan, kesehatan, dan akses terhadap pekerjaan layak; rasio pajak stagnan pada 9–10% dari PDB, jauh tertinggal dari standar negara berkembang (15–20%); sementara utang negara menembus lebih dari Rp 8.000 triliun, sebagian besar dialokasikan untuk pembayaran bunga, alih-alih pembangunan produktif.

Komentar