Konflik ini menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan lingkungan serta hak-hak masyarakat adat. Pertanyaannya, apakah pemerintah mau mengambil tindakan konkret untuk menyelesaikan konflik ini dan melindungi hak-hak masyarakat adat?
Sekali lagi, Gereja-gereja di Sumatera Utara, terutama di Tanah Batak, telah bersuara lantang menentang PT TPL karena tuduhan kerusakan lingkungan, perampasan tanah adat, dan pelanggaran hak asasi manusia. Mayoritas gereja-gereja ini sepakat bahwa operasi TPL tidak berwawasan lingkungan dan merugikan masyarakat.
Alasan penolakan gereja terhadap TPL sangat jelas: kerusakan lingkungan dan kerusakan sosial. Gereja-gereja ini tidak hanya menentang TPL karena kerusakan lingkungan, tetapi juga karena dampak sosial yang ditimbulkannya. Mereka menuntut penutupan TPL dan desak pemerintah untuk menindaklanjuti tuntutan ini.
Tuntutan gereja sangat spesifik: menutup operasi TPL, menghentikan kekerasan, membuka akses jalan masyarakat, dan mengelola hutan berbasis lingkungan dan kearifan lokal. Gereja juga menolak bantuan dari TPL dan menegaskan bahwa sikap menentang perusahaan tersebut adalah bagian dari konvensi gereja tentang lingkungan.
Lagi, pertanyaannya apakah pemerintah akan mendengarkan suara gereja dan masyarakat, atau apakah TPL akan terus beroperasi dengan mengabaikan kerusakan lingkungan dan hak-hak masyarakat?







Komentar