Memetik Pelajaran Berharga dari Jejak Rekam Sabam Sirait

Pendidikan1017 Dilihat

Oleh : Yanedi Jagau

Tugas Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) me-rekonstruksi dan Mengindeginasi pikiran dan Pemikiran Sabam. Agar jejak rekam Sabam Sirait menjadi warisan yang terus menerus menyala, mestilah “kita (GMKI)” merekonstruksi dua hal. Pertama, menulis ulang mengenai pernyataan, cerita, dan tulisan langsung yang pernah ia sampaikan. Kedua, menuliskan kesaksian rekan dan sahabat dari bang Sabam.

Agar pemikiran Sabam tersebar dan mendapatkan tanggapan serta meng–indigenisasi (makin membumiputera) mestilah orang-orang di GMKI yang memprakarsai dan menuliskan hal tersebut.

Sabam menaruh harapan besar pada GMKI. Tak terbantahkan ia begitu mencintai GMKI, wajarlah GMKI juga bergotong royong menuliskan pikiran dan pemikirannya.

Bang Sabam sedari muda adalah kader GMKI yang ditempa oleh organisasi melalui kegiatan, program dan penugasan. Bang Sabam adalah warga native GMKI yang patut jadi panutan dan teladan.
Akan terasa kurang kreatif manakala GMKI tidak serius menggali pikiran maupun pemikiran dari si “manusia politik” .

Sedari dulu Bang Sabam menjiwai pelayanan pada bidang politik. Di dalam masyarakat Indonesia pada tahun 1970-1990 yang lebih dominan menghindari dan alergi pada politik, justru Sabam melawan arus besar tersebut, bahkan dia secara lantang mengatakan bahwa politik itu suci.

Andaikata sudah ada yang meng–indigenisasi pemikiran Sabam, tentu akan memudahkan siapapun yang ingin menyelami jejak rekam Sabam. Akan memudahkan orang-orang yang ingin memahami dan menimbang pemikiran Sabam. Jika sudah tersedia teori yang lengkap tentang politik yang suci sebagaimana yang ia maksudkan. Persoalannya, cukupkah rekam jejak itu direkonstruksikan sebagai teori. Apakah teori “politik itu suci” hanya jargon yang kadang tergerus zaman.

Oleh karena itu rekam jejak Sabam mesti diverifikasi, dikonfirmasi oleh GMKI dan pihak pihak yang dekat dengan dirinya, dalam rangka dan upaya menemukan fakta. Apa gunanya? Tentu saja semuanya itu dalam rangka meneorisasikan pikiran dan pemikiran bang Sabam.

Suatu slogan mungkin saja bisa dibuat dan dituliskan tiap hari, namun satu teori yang hidup dan membumi membutuhkan kekuatan fakta. Bukankah fakta itu suci ujar Bill Kovach, dalam bukunya Sembilan Elemen Jurnalisme.

Sebagai contoh nyata, terlihat pada buku yang berjudul Leimena Negarawan Sejati berhati Nurani, seorang John Pieris mampu dengan baik menguraikan apa yang dimaksud dengan teori Leimena mengenai kekuasaan. Sebagaimana John rumuskan bahwa bagi Leimena Politik bukanlah alat untuk berkuasa melainkan etika untuk melayani.

Suatu fakta yang tercatat bahwa Leimena dipercaya oleh Soekarno Presiden pertama RI—Pada masa tersebut Leimena ditunjuk sebagai 7 kali jadi pejabat presiden mewakili Soekarno. Singkatnya fakta tersebutlah yang diteoritisasikan oleh John.

Yang patut diapresiasi juga adalah apa yang dilakukan oleh Flip Litaay, ia menulis disertasi tentang Double kewarganegaraan bagi orang Kristen di Indonesia sebagaimana Pemikiran Jo Leimena. Ia menemukan dan menyusun teori Leimena. Bahkan Flip tidak sungkan menggolongkannya dengan sebutan Leimenian. Saya rasa Flip ingin mengangkat hal-hal yang asli (genuine) dari rahim anak Indonesia dari sosok Leimena.

Hal yang sama berlaku bagi pemikiran bang Sabam mengenai teori Politik itu Suci, siapakah pihak di GMKI yang mampu menceritakannya dengan sistematis?. Leimena pernah tujuh kali menjadi pejabat presiden pada masa Soekarno sedangkan Sabam Sirait sudah berpolitik dengan tujuh Presiden. Bukan bermaksud membandingkan siapa yang lebih menonjol dari keduanya. Maksud saya mengetengahkan kedua tokokh GMKI ini, adalah rangka mengajak civitas GMKI untuk mencatat pencapaian dan prestasi tersebut serta meneladaninya.

Muncul kembali dua hal yang ditekankan yaitu pikiran dan pemikiran bang Sabam. Pikiran atau gagasan apa yang menghasilkan dan membuahkan tindakan Bang Sabam? Pemikiran yang bagaimana yang mampu mengarahkan proses serta konsep logika berpikir bang Sabam.

Singkatnya, untuk menggali Sabam mesti dua hal yang mesti ditelaah. Pertama soal pikiran Sabam dan yang kedua adalah Pemikiran Sabam. Pikiran mengarahkan dan menghasilkan Tindakan berdasarkan suatu ide, sedangkan pemikiran lebih merujuk kepada proses rasionalisasi logika menghasilkan konsep yang disebut teori.

Dengan meninjau dari kedua hal di atas diharapkan GMKI terhindar dari spekulasi dan mitos. Tugas GMKI mesti membersihkan selubung awan gelap spekulasi dan mitos terhadap bang Sabam.
Memang tantangannya pasti beragam, namun bukan berarti total tidak bisa. Mesti dicoba terlebih dahulu.

Meneorikan pikiran dan pemikiran bang Sabam dapat diartikan sebagai upaya mengawal agar Api Pemikiran Sabam terus menyala. Api yang seperti apa yang ingin tetap dinyalakan? Tentu saja bukan sekedar api sembarang api, mulai dari api perjuangan sampai api pemikiran politik itu suci yang sering ia kobarkan.

Indigenisasi pemikiran dan pikiran dari sosok Sabam dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan pola dasar pdspk gmki. Literatur GMKI akan menjadi lebih kaya manakala kita mampu meneorisasikan pikiran dan pemikiran tokoh tokoh GMKI yg berkiprah di berbagai tempat.

Suatu Hari bersama Sabam
Sabam tidak suka melabelkan orang orang GMKI yang sering berinteraksi dengan dia sebagai kader Sabam. Pada berbagai kesempatan berkali kali ia menjelaskan “mereka bukanlah kaderku” namun mereka adalah kader GMKI. Ia menasehati secara langsung kepada kami yang saat itu sedang ber GMKI agar aktif bersatu dan tidak bertengkar lantaran label & cap “kader siapa?”.
Dengan kata lain Sabam juga melarang agar tidak boleh menyebutkan penggolongan kader Om Jo di satu pihak dan membeda-bedakan Kader Bang Sabam Sirait pada sisi yang lain. Saya beruntung secara khusus pernah mendapatkan nasehat dari bang Sabam.

Suatu Ketika tahun 2000-an saya lupa tanggalnya, saya dan Ralian Manurung dipanggil Sondang Sirait istrinya bang Sabam. Panggilan ini sudah kami duga sebelumnya lantaran saya dan Ralian menulis pada bulletin Praxis yang isinya mengkritik BKS PGI. Sondang Sirait kalau tidak salah saat itu posisinya sebagai Sekretaris umum BKS PGI.

Singkat kata kami sudah tiba di rumah bang Sabam, disambut dengan ramah, bahkan diajak makan pula. Kami tentu saja gembira “pucuk dicinta ulam pun tiba” tak percuma kami datang jauh-jauh dari salemba ke jalan Depsos rumah keluarga Bang Sabam. Lantaran saya dan Ralian terlalu menikmati makanan, dan kekenyangan, kewaspadaan kami pun kendor. Setelah piring dicuci, meja makan pun bersih.

Usai makan, saya dan Ralian duduk santai, mulailah Sondang Sirait istri dari bang sabam, menyemprot dan mengomeli kami berdua soal isi tulisan kritik terhadap BKS-PGI-GMKI. Tentu saja omelan dan kata pedas tersebut adalah omelan sayang, bagaikan “gizi” pelengkap penguatan spirit aktivis.

Naluri Sondang memang kental dengan figure seorang Ibu, setelah semprotan itu, Sondang berkata kurang lebih demikian. “Baiklah, karena kalian berdua sudah kenyang makan dan sudah kuomeli pula, saya akan beri kalian hadiah Buku dan majalah koleksi Bang Sabam, kalian bacalah nanti agar tambah pintar kalian”.

Jadilah kami orang yang double beruntung pada hari itu, satu sisi kami dapat makanan jasmani sisi hal lain juga kami majalah dan buku koleksi plus nasihat serta omelan itu.

Sondang mengirimkan koleksi bang Sabam berupa buku, majalah tempo, forum, monitor, jumlahnya antara 200 s/d 300. Ia kirimkan ke Salemba 10 Jakarta satu mobil pick up berisi penuh buku dan majalah. Bahan bacaan yg luar biasa, maklum saja saat itu internet adalah barang mewah. Buku itu adalah sumber literasi bagi kami anggota GMKI.

Tidak ada Yang kalah dan Menang
Di lain waktu dan kesempatan tahun 2009 saya berkesempatan mengobrol khusus dengan bang Sabam, ia memberi pesan “tidak ada yang namanya kalah, yang ada adalah suara belum cukup”. Bang sabam saat itu berlaga sebagai Caleg PDIP dari daerah Pemilihan Kalimantan Tengah. Selain membantu sebagai tim sukses Sabam, saya juga sebagai Caleg Anggota DPD. Situasi dan kondisi berkehendak lain, tidak sesuai dengan yang saya rencanakan.
Saya nyeletuk dan berkata “Saya dan Abang kalah dan gagal menjadi anggota legislative mewakili Kalteng”.

Dengan tersenyum dan tenang bang sabam menjelaskan, “Haloo Jagau, tidak ada yang namanya kalah, yang ada adalah suara kita belum cukup”. (Penulis Direktur Eksekutif Borneo Institute dan Senior GMKI)

Komentar