Menurut Darwin, terjadi erosi demokrasi karena nilai-nilai integritas dan moralitas itu turun. “Itulah yang dilakukan elit dan oligarki karena rakyatnya belum terkonsolidasi dengan baik,”tandasnya.
Mengutip mantan Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Dunia Konrad Raiser, lanjut Darwin, spiritual Oikumene dapat menjadi platform melawan ketimpangan struktural dan inspirasi untuk mengadvokasi hak asasi manusia dalam ruang demokratis.
“Oikumene juga menjadi basis eksis untuk tata kelola publik yang adil dan transparan dalam semangat nilai-nilai spiritualitas, dimana hadir bersama dengan orang-orang yang tertindas,”ujar Darwin.
Dalam kesempatan yang sama, Hurriyah mengatakan Indonesia negara multi etnis, multi kelompok dan multi agama tapi masyarakat tidak saling mengenal.
“Di sekolah kita diajarkan rukun tapi kita tidak diajarkan untuk saling mengenal. Yang muslim takut kristenisasi, dan yang Kristen takut islamisasi,”ujarnya.
Hurriyah menuturkan, Bhineka Tinggal Ika hanya slogan akan tetapi perdebatan agama tidak tuntas soal politik. Bahkan, lanjutnya, perdebatan politik dilakukan di ruang publik seperti halnya masjid atau gereja.
Martin Lukito Sinaga mengatakan, sprit Oikumene sudah ditanamkan oleh para tokoh-tokoh Kristen sebelum kemerdekaan. “Sam Ratulangi datang ke Hatta (Mohammad Hatta-red) menegaskan, partisipasi orang Kristen di Indonesia dengan semangat Pancasila sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan menghilangkan tujuh kata dengan menjalankan syari’at Islam di dalamnya,”katanya.
Menurut dia, para tokoh-tokoh Kristen seperti halnya TB Simatupang, Johanes Leimena, Sutan Gunung Mulia dan Maramis adalah pendiri Oikukeme.
“Orang Kristen ingin berpartisipasi dalam negeri ini, dan tidak ingin di luar kekuasaan. Hal ini adalah sikap etis dan sikap kooperatif yang ditunjukan Gunung Mulia dan TB Simatupang terhadap bangsa ini,”ujar Martin. (ralian)
Komentar