Hari ini tuduhan tertuju pada TPL, dan konflik antara TPL dan masyarakat adat Batak, termasuk HKBP, telah berlangsung lama. Demonstrasi yang terjadi berkali-kali contoh dari perjuangan masyarakat adat dan gereja dalam mempertahankan hak-hak mereka atas tanah dan lingkungan.
Fakta-fakta yang terjadi di Tanah Batak selama puluhan tahun ini menunjukkan bahwa bencana alam berulang kali terjadi, menyebabkan korban jiwa dan kerusakan lingkungan. Tanah longsor telah merusak tanah pertanian dan sawah, sehingga warga tidak dapat menikmati kehidupan yang layak. Sungai-sungai menjadi dangkal dan danau menjadi tercemar. Keadaan ini menunjukkan bahwa Tanah Batak berada dalam kondisi kritis.
Berbagai organisasi gereja, masyarakat, dan masyarakat umum telah bersuara lantang menentang TPL dan menuntut penutupan perusahaan tersebut. Mereka juga menandatangani komitmen untuk melestarikan alam Tanah Batak.
Pertanyaan yang sama masih belum terjawab: apakah seruan ini akan diikuti dengan aksi nyata? Apakah gereja dan masyarakat akan terus menekan pemerintah untuk mengambil tindakan konkret terhadap TPL? Atau apakah ini hanya akan menjadi seruan kosong tanpa aksi nyata? Tentu waktu akan menjawab.
Seruan “Tutup TPL” merupakan keputusan kolektif dari ribuan pendeta dalam rapat di Sipoholon, bukan keputusan pribadi Ephorus. Ini menunjukkan bahwa HKBP tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak dalam memperjuangkan keadilan lingkungan.











Komentar