Secara angka, partisipasi perempuan di politik memang naik. Namun, di balik kursi parlemen dan jabatan strategis, mereka masih berhadapan dengan tembok tebal bernama budaya patriarki, politik uang, dan kekerasan berbasis gender yang kerap tak tersentuh hukum.
“Kita punya kuota keterwakilan, tapi tanpa keberanian mengubah sistem, perempuan tetap jadi figuran dalam panggung politik,”lanjutnya.
Anggota DPRD Kota Bandung, Nina fitriana, menegaskan bahwa kemerdekaan sejati bagi perempuan harus diukur dari keberanian negara mengakomodasi kebutuhan riil warganya.
“Perempuan tidak hanya ingin dihitung jumlahnya di parlemen, tapi didengar gagasannya dan dilindungi kesehatannya. Kita tidak mau lagi ada generasi perempuan yang lelah diam-diam,” ujarnya.
Isu lain yang tak kalah penting adalah kesehatan mental perempuan, yang hingga kini belum diakomodasi secara utuh dalam regulasi nasional.
Stigma, minimnya layanan psikologis terjangkau, dan beban ganda di ranah domestik maupun publik membuat perempuan rentan pada tekanan mental yang menghambat potensi mereka seperti yang disampaikan oleh Rere.
Komentar