Korupsi Korporasi CPO, Hakim Nonaktif Djuyamto Mengetahui Disuap Tapi Tidak Melapor ke Badan Pengawasan MA

Hukum189 Dilihat

Meski Djuyamto tidak berkomunikasi langsung dengan penyuap, ia terbukti menerima uang ini dan menjatuhkan putusan sesuai permintaan pengacara korporasi.

Vonis Lepas CPO Effendi juga membantah bahwa pernyataan Arif dapat dinilai sebagai “atensi dari pimpinan” yang dijadikan alasan pembenar oleh pihak Djuyamto.

Namun, Djuyamto bukan hakim baru. Ia sudah melanglang buana selama 30 tahun di berbagai lembaga pengadilan. “Sehingga, (Djuyamto) memiliki pengalaman dan pemahaman yang sangat memadai mengenai etika dan larangan menerima pemberian terkait perkara,” lanjut Effendi.

Terlebih, dalam sistem peradilan Indonesia, hakim diharuskan bersifat independen dan tidak boleh dipengaruhi siapapun, termasuk atasannya. Independensi hakim ini sudah dijamin dalam beberapa pasal, termasuk Pasal 24 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.“Jika menghadapi tekanan atau tawaran yang tidak wajar, hakim wajib melaporkan kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial,” kata Effendi.

Namun, saat persidangan korporasi CPO bergulir, Djuyamto maupun hakim lainnya tidak ada yang melaporkan upaya suap kepada lembaga pengawas. “Bahwa sepanjang persidangan, tidak ada fakta yang menerangkan bila atensi pimpinan itu disertai juga dengan atensi agar mau menerima suap,” kata Effendi.

Atas hal-hal ini, Djuyamto dkk dinyatakan bersalah dan patut dihukum.Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom masing-masing divonis 11 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.

Djuyamto terbukti menerima suap dari pihak korporasi kurang lebih senilai Rp 9,2 miliar.Sementara, dua hakim anggotanya, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom masing-masing dinyatakan terbukti menerima suap senilai Rp 6,4 miliar.

Karena telah menerima suap, ketiganya juga dihukum untuk membayar uang pengganti atau mengembalikan uang suap ini kepada negara.

Tapi, sebelum vonis dibacakan, para terdakwa sudah mengembalikan sebagian uang suap yang disinggung dalam dakwaan.

Alhasil, besaran denda uang pengganti dan hukuman pidana penjara tambahannya akan menyesuaikan jumlah uang yang belum atau tidak bisa dibayarkan.

Mereka diyakini telah melanggar Pasal 6 Ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (ralian)

Komentar