PBHM : Vonis Bharada E Hakim Lebih Mempertimbangkan Tekanan Masyarakat

Hukum499 Dilihat

BeTimes.id – Vonis hakim terhadap kasus Bhayangkara Dua (Bharada Dua) Richard Eliezer Pudihang Lumiu, atau Bharada E 1 tahun dan 6 bulan penjara atas terbunuhnya Brigadir Nofriansyah Josua Hutabarat sangat menarik untuk dikritisi Indonesia sebagai Negara Hukum (“Rechtsstaat”).

Karena kasus ini menjadi debatable, perdebatan atas vonis yang diberikan. Filosofinya sebagai negara hukum kekuasaan kehakiman adalah mandiri dan independen, dan tidak terpengaruh dengan tekanan publik.

Dimana, penerapan hukum harus the rule of the law. Bukan the rule by law atau the rule by man, hukum yang dimanfaatkan seperti yang dilakukan mantan Kadiv Hukum Polri Ferdy Sambo. Dengan yang divonis 1 tahun dan 6 bulan penjara ini sangat menjadi debatable.

Ketua Pusat Bantuan Hukum Masyarakat, Ralian Jawalsen mengatakan, Bharada E memang sebagai justice collaborator, tapi dalam perjalanan persidangan terbukti bahwa Bharada E melakukan tanpa tekanan. “Ya, memang Bharada E menjadi justice collaborator sehingga terungkap dalang di balik terbunuhnya Brigadir J. Tapi tidak hanya sekedar justice collaborator yang jadi pertimbangan.

Pertimbangan lainnya adalah pada saat Bharada E melakukan dengan sukarela menembak ke arah Brigadir J. Hukumannya terlalu ringan dan ini menjadi preseden hukum ke depan kalau ada peristiwa yang sama maka akan menjadi yusrisprudensi hukum,”kata Ralian, dalam keterangan persnya kepada wartawan, Rabu (15/2).

Menurutnya, dalam fakta persidangan Ricky Rizal diminta Ferdi Sambo untuk menembak Brigadir J, namun dirinya tidak kuat dan tidak bersedia. “Hanya saja Ricky Rizal mengetahui penembakan itu tapi tidak memberi tahu,”tambah Ralian.

Dia mengatakan, dalam teori pidana, sebuah tindak pidana dibangun atas dua unsur penting yaitu unsur objektif/physical yaitu actus reus (perbuatan yang melanggar undang-undang pidana) dan unsur subjektif/mental yaitu mens rea (sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana).

Dalam hal ini tidak menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan vonis yang diberikan kepada Bharada E. “Harusnya dalam dalam prosedur penegakkan hukum pidana (acara pidana), otomatis penyelidik akan melihat dari actus reus, karena ini pasti lebih dahulu terlihat dan dijadikan dasar untuk pemeriksaan lanjutan, ketimbang mens rea (sikap batin) yang tidak selalu terlihat di tahap penyelidikan.

Dalam hal tertangkap tangan pun, mens rea masih penting untuk dibuktikan di tahap berikutnya,”terangnya. Ralian mengatakan, sangat menyayangkan pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang melontarkan pernyataan dia ruang publik terkait masalah tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) terkait persidangan di ruang publik. “Karena apa yang dikatakan Mahfud MD adalah pernyataan yang tidak bisa dibedakan Mahfud MD sebagai menteri atau sebagai pribadi, dan yang akhirnya hakim memutuskan putusan mengenyampingkan tuntutan jaksa penuntut umum,”tukasnya.

Aktifis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Jakarta angkatan 1998 itu mengatakan, sampai dalam persidangan berlangsung, jaksa penuntut umum tidak menemukan motif terjadinya pembunuhan.”Juga pembunuhan terhadap Brigadir J dikatakan pembunuhan berencana tidak dikemukakan secara detil oleh jaksa penuntut umum.

Apakah Ferdi Sambo melakukan pembunuhan berencana atau spontanitas ini dikemukakan dengan jelas,”tukas Ralian. Sebelumnya, Ferdy Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup, namun dalam vonis hakim hukuman mati. Putri Chandrawati dari tuntutan hukuaman 8 tahun penjara divonis 20 tahun hukuman penjara, Kuat Maruf dan Ricky Rizal tuntutan jaksa penuntut umum 8 tahun penjara, divonis menjadi 15 dan 13 tahun penjara.

.

Komentar