GMKI Minta Kemkominfo Fokus Atasi Berita Hoax

Hukum439 Dilihat

Kabid Medkominfo PP GMKI, Brian Samosir

BeTimes.id – Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) angkat bicara  menyikapi  berbagai informasi hoax yang kemudian menjadi konsumsi publik.

Pada bulan Februri ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) baru saja merilis sejumlah data diantaranya 9.417 temuan isu hoax dalam dalam kurun waktu Agustus 2018 hingga 16 Februari 2023. Temuan lainnya, sebanyak 1.730 kasus penipuan di periode yang sama.

“Hampir 10 ribu temuan informasi hoax yang berseliweran per Februari 2023. Ini jelas mengkhawatirkan,” ungkap Ketua Bidang Media Komunikasi dan Informasi (Kabid Medkominfo) PP GMKI, Brian Samosir dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (1/3).

Informasi, lanjut Brian, seharusnya hadir sebagai unsur utama yang secara implisit melekat dalam konsep pembangunan yang terencana. Tapi, lain halnya jika keakuratan informasi tersebut masih harus dipertanyakan.

Kabid Medkominfo PP GMKI itu mempertanyakan sejauh apa langkah yang sudah diambil Kemkominfo dalam menanggulangi persoalan hoax ini. “Persoalan tentu tidak selesai hanya dalam tahapan merangkum data,” pungkas Brian.

Pesatnya perkembangan teknologi beririsan dengan derasnya arus informasi dan kemudahan mendapatkan informasi. Hal tersebut akhirnya menghadirkan masyarakat melek informasi.

Brian menuturkan bahwa dunia kini telah beralih dari era industrialisasi ke era informasi yang melahirkan masyarakat informasi (information society).

“Menkominfo harus tegas dalam menyikapi hal ini, salah satunya melalui pengawasan media sosial,” tegas Brian.

Melansir laporan Katadata Insight Center (KIC) berdasarkan hasil survei yang dihimpun selama periode Agustus-September 2022, media sosial menjadi salah satu penyumbang berita bohong terbesar.

Facebook menjadi tempat dimana masyarakat paling banyak menemukan hoax. Persentasenya mencapai 55,9%. Selain Facebook, ada YouTube, Instagram, Twitter masing-masing diangka 13,1%, 7,4%, dan 2%.

Bahkan, mengutip temuan media riset yang sama, 30% sampai 60% masyrakat Indonesia terpapar hoax saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya. Diantarnya, hanya terdapat 21% sampai 36% saja yang mampu mengenali hoax.

“Ketergantungan publik akan informasi dan berita di media mainstream, khususnya media sosial dapat mengubah pola pikir masyarakat menjadi lebih adiktif. Pemerintah dalam hal ini Kemkominfo  Seharusnya bisa memberikan boundaries pada platform media sosial yang ada di Indonesia,” ungkap mahasiswa lulusan IPB University tersebut.

Brian mencontohkan bahwa pada Juli 2018 silam, Kemkominfo sempat memblokir platform TikTok atas sejumlah laporan terkait pornografi, asusila, LGBT, pelecehan agama, fitnah, hoax, serta konten yang dinilai meresahkan masyarakat dan anak-anak.

Sehari setelah diblokir, petinggi TikTok langsung datang ke Indonesia untuk menindaklanjuti pemblokiran tersebut.

“TikTok pada waktu itu menyanggupi klausul yang dimintakan Kemkominfo, diantaranya merubah aturan umur, melakukan penyaringan internal terhadap konten-konten bernuansa negatif, dan merekrut 200 pegawai yang akan bekerja mengawasi konten di Indonesia,” ungkap Kabid Medkominfo tersebut.

Tintakan itu, kata Brian, bisa dijadikan contoh dalam menindaklanjuti persoalan. “Hal tersebut merupakan satu dari banyak cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi persoalan konten hoax dan negatif,” pungkasnya.

Seharusnya, lanjut  Brian, tindakan yang sama atau mungkin dengan model yang berbeda, bisa dilakukan terhadap platform lain. Karena Indonesia juga harus berdaulat atas ruang digital. “Melalui penerapan tata kelola Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang baik, kita dapat membangun Indonesia sebagai digital nation yang berdaulat di ruang digital Tanah Air,” ujar Brian. (Ralian)

Komentar